Rabu, 18 April 2012

Hakikat Manusia Seutuhnya


Manusia sebagai latar belakang yang hakiki di dalam berfilsafat, teologi,biologi,maupun fisika.Manusia merupakan  makhluk yang bersifat sesuai dengan rasio yang dimiliki yaitu membutuhkan pendidikan karena manusia pada saat lahir membawa potensi tapi potensi tersebut belum berpola.Dengan kata lain manusia adalah pangkalan Roh yang dapat dikembangkan pola pikirnya . Untuk membuat manusia itu berpola memerlukan bimbingan pendidikan dari seorang pendidik dalam hal ini adalah Guru . Karena pendidikanlah yang pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk dapat berubah ke hal yang lebih berpendidik .Karena hakikat pendidikan itu tidak akan terlepas dari hakikat manusia,sebab urusan utama pendidikan itu melibatkan manusia.
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang unik, ia adalah subjek sekaligus objek. Dirinya berpikir untuk mempersoalkan dirinya. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri maka  ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.

Kita sebagai manusia  memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Kedudukan dan peran manusia sebagai khalifah dimuka bumi, sebagai manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, sedangkan dengan sesama  manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dalam rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.

Manusia merasa bahwa didalam jiwanya ada suatu kekuatan yang memperingatkan perbuatan buruk dan usaha mencegah dari perbuatan itu. Manusia pada umumnya mengetahui ada baik dan ada buruk. Pengetahuan bahwa ada baik dan ada buruk itu disebabkan kesadaran kesusilaan. Akan tetapi kesadaran ini tidak setiap saat selalu ada pada manusia.

Dengan perkataan lain, hal ini belum dimiliki ketika manusia masih kecil. Memang manusia pada saat baru dilahirkan telah memiliki daya-daya sebagai sekumpulan potensi, tetapi belum dapat dipergunakan. Sebagai misal, daya mengeluarkan ungkapan melalui kata, daya mengambil keputusan dan daya tahu yang sebenarnya. Ini semua memerlukan kesadaran dan pengetahuan. Jadi, daya-daya yang telah ada sejak kecil itu baru bisa muncul dan berkembang apabila ada pertolongan dari orang lain. Perkembangannya memerlukan pendidikan, teladan dan bimbingan. Dalam perkembangannya, kesadaran etis akan berfungsi untuk memberi putusan terhadap baik buruknya suatu tindakan.

Manusia selalu menjadi pokok permasalahan. Persoalan apapun yang terjadi di dunia ini pada dasarnya dan akhirnya berkaitan dengan manusia. Sebagai makhluk berperilaku, maka semua tingkah laku manusia itu mengandung maksud dan tujuan tertentu . Dapat dikatakan bahwa, manusia adalah makhluk yang serba butuh fisik dan rohani. Kebutuhan fisik misalnya butuhan makan sedangkan kebutuhan rohani bisa kita dapat dari proses pendidikan baik agama maupun pendidikan umum, seperti belajar,merenung dan lain sebagainya.Kierkegaard menyatakan bahwa hidup manusia mempunyai tiga taraf ,yaitu estetis, etis dan religius.

Konteks dasar manusia umumnya yaitu kehidupan riil dan kebudayaan yang mempertajam arti dan makna hidup manusia.Menurut Soren Kierkegaraad juga dalam karyanya Either  /Or ,di mana pandangan manusia itu kogret, seperti yang kita saksikan di kehidupan sehari-hari.

Sebagai manusia yang diciptakan di muka bumi ini  harus dapat mengetahui bagaimana kondisi alam di sekitar tempat tinggal manusia itu sendiri  di antaranya kita dapat melihat dari segi :

1.      Keadaan alam tempat tinggal

Kita dapat hidup tenang apabila kondisi alam kita nyaman dari berbagai bencana ,misalnya kondisi cuaca alam , adanya bencana yang sering melanda tempat itu dan kondisi bencana dari sosial dan budayanya. Untuk itu kita dapat memilih tempat yang nyaman .Alam kondisi  manusia juga yang pada dasarnya baik itu, kini dapat rusak dan asusila .Karena telah terseret oleh ilmu dan kesenian ke dalam jurang kehidupan yang munafik,congkak,dan korup.

2.      Kondisi pendidikan

Kita sebagai manusia tentu membutuhkan pendidikan .Apabila tempat yang manusia itu tempati jauh dari pendidikan maka manusia tidak akan berkembang pemikirannya.Sedangkan   manusia cara keberadaannya dapat dilihat  secara nyata dengan mahluk yang lain.
Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia ke  hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999).
3.      Kondisi kebudayaan
  Sebagai  manusia yang hidup di dalam kehidupan bermasyarakat maka manusia dapat menjumpai beraneka ragam bentuk kebudayaan.Dengan demikian timbullah kerja atau karya yang merupakan mediasi antara manusia dengan dunianya.karena kebudayaan merupakan dimensi dalam hidup dan tingkah laku manusia.Hal ini menjadi landasan untuk menentukan sikap terhadap dunia luar dan untuk memotivir setiap langkah yang berhubungan dengan pola hidup serta tata cara dalam berkemasyarakatan.
Selain  di atas kita juga harus tahu bahwa manusia diciptakan di bumi itu adalah untuk memerintah . Setiap manusia diciptakan untuk memerintah atas keadaan dan menjadi berhasil, bebas serta berkemenangan dalam seluruh area kehidupan.Hal inilah sebenarnya dasar dari kehidupan semua manusia di muka bumi.Ada banyak orang yang berkuasa hanya  memanfaatkan manusia  sehingga mereka selalu mengalami kekalahan demi kekalahan dalam seluruh area hidupnya.Begitu juga dengan kita, sejak awal kita sudah diprogram untuk hidup dalam kemerdekaan dan memerintah serta memperluas kerajaan Allah untuk selalu memerintah.
 Dengan demikian manusia adalah bagian semata-mata dari keseluruan jaga raya. Karena dengan kedudukan memerintah yang dimilikinya manusia merupakan pusatnya yang dapat memerintah.Namun dalam kenyataan sering terjadi bahwa manusia  tidak selalu berhasil mempertahankan kedudukanya yang sentaral itu.
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada penciptanya sedangkan unsur materi yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia.
Tak asing lagi bila setiap manusia mempunyai harapan yang sangat tinggi selama didunia. Karena manusia bila sudah waktunya habis dalam dunia  maka manusia itu akan mengalami keberhentian dalam semua usahanya. Baik itu dalam harapan untuk selalu hidup yang mulia dalam kehidupanya dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ,selain mewujudkan cita-cita hidup yang ia impikan . 

Rabu, 11 April 2012

Hakikat Pembelajaran dan Siswa Sekolah Dasar


1. Hakikat Belajar

a.       Hakekat Pembelajaran
Paradigma interaksi guru-siswa di sekolah sekarang telah berubah, dari pengajaran (instructional, teaching-instruksional)  menjadi pembelajaran (learning), dari guru sebagai subjek (pemain) dan siswa objek (penonton) menjadi siswa sebagai subjek dan guru menjadi sutradara. Dalam pengajaran yang berkonotasi aktivitas guru dengan pola informasi, contoh, tanya-jawab, latihan, tugas, dan evaluasi memandang siswa sebagai wadah kosong yang perlu diisi pengetahuan sebanyak-banyaknya, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, berminat atau tidak berminat, yang penting materi (tugas) selesai tersampaikan.
Sebaliknya, dalam konteks pembelajaran, memandang siswa sebagai subyek, jadi berkonotasi pada aktivitas siswa (minds-on dan hands-on).  Mengapa demikian ? Karena pada pembelajaran, yaitu membelajarkan siswa – membuat siswa belajar,  berasumsi bahwa siswa telah memiliki bekal (potensi) berupa intelektual, emosional, dan spiritual yang perlu dikembangkan dengan fasilitasi dari guru. Jadi belajar dapat dipandang sebagai pengembangan potensi tersebut secara optimal. Prinsip pembelajaran yang dijadikan pedoman adalah siswa pemain - guru sutradara, siswa mengalami-melakukan-mengkomunikasikan, negosiasi - bukan instruksi, konstruksivis dari daily life, orientasi pada kompetensi (pangabisa) tidak sekedar teori, dan nyaman-menyenangkan.


b.      Hakekat Siswa Sekolah Dasar
Pada umumnya usia siswa Sekolah Dasar berkisar pada umur 6 sampai dengan 12 tahun. Piaget (dalam Atit Suryati, 2007) mengemukakan bahwa “pada usia ini siswa baru memiliki kemampuan berfikir konkrit, yang berarti bahwa mereka bisa belajar secara bermakna (meaningfull) jika menggunakan benda konkrit dari dunia mereka.  Oleh karena itu, hindarilah pembelajaran yang sifatnya dominan verbal agar tidak verbalisme”.
Pendapat lain, Bruner mengemukakan bahwa:
Siswa akan belajar efektif jika memanipulasi benda konkrit, yang secara intuitif akan melekat pada diri siswa. Pembelajaran menurut Bruner dengan menggunakan pendekatan spiral, dimulai dari hal konkrit ke abstrak – dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks -  dari hal yang mudah ke yang sukar. Ini berarti bentuk spiral tersebut vertikal dari bawah ke atas, mulai dengan diameter kecil dan makin membesar. Hal ini sesuai dengan kondisi kemampuan berfikir siswa Sekolah Dasar yang masih konkrit dan sederhana.

Jika tidak demikian siswa akan merasa terbebani dengan pengajaran yang bersifat transmisi (searah). Ini akan berakibat fatal, karena pada saat berikutnya kondisi kognitif dan afektifnya terganggu sehingga akan menimbulkan kelelahan, ketakmampuan, kebosanan, kekesalan, kekecewaan, ketakutan, dan stres. Pada tahap lanjut dari kondisi seperti ini munculah perilaku acuh tak acuh, menghindar, bahkan membenci. Kondisi ini seringkali terjadi karena salah memandang siswa secara utuh, parahnya hal ini tidak disadari oleh guru, dan ini bukanlah pembelajaran tetapi lebih cenderung pada pemerkosaan terhadap potensi siswa.
Menurut Ace Suryadi (dalam Atit Suryati, 2007) dikemukakan bahwa, “kecerdasan anak akan berkembang pesat melalui interaksi intensif dengan lingkungan sekitar. Jika tidak, kecerdasan anak justru tidak akan berkembang, interaksi dengan lingkungan sekitar merupakan komponen pentuing untuk melejitkan kecerdasan anak”. Sedangkan Maman Djauhari (dalam Atit Suryati, 2007) “membelajarkan anak tanpa didasari dengan pengalaman konkrit dari dunia sekitarnya hanya mencapai tingkat mengetahui tanpa makna dan untuk dilupakan”.
2.              Pendekatan Inkuiri Terbimbing
            Menurut Sofan (2010: 200), pendekatan inkuiri merupakan pendekatan yang melibatkan  secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Joyce (dalam Sofan, 2010:200) mengemukakan bahwa:

            Kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa yaitu (1) aspek social di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi, (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya, (3) penggunaan fata sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.

            Pendekatan inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah ke dalam waktu yang relatif singkat. Hasil penelitian Schlenker (dalam Trianto, 2007:136) menunjukkan bahwa “latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman IPA, produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi.”
Indrawati (dalam Trianto, 2007: 134) menyatakan bahwa "suatu pembelajaran pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan model-model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berpikir dan bagaimana dampaknya terhadap cara-cara memperoleh informasi." 
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa inti dari berpikir yang baik adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Dasar dari pemecahan masalah adalah kemampuan untuk belajar dalam situasi proses berpikir. Dengan demikian, hal ini dapat diimplementasikan bahwa kepada siswa hendaknya diajarkan bagaimana belajar yang meliputi apa yang diajarkan, bagaiman hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan memperoleh pandangan baru.
Untuk kepentingan ini salah satu yang termasuk dalam model pemrosesan informasi adalah pendekatan inkuiri. Yaitu dengan sintaks kegiatan pembelajaran yang dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan, kemudian siswa diminta untuk merumuskan hipotesis, dilanjutkan mengumpulkan data setelah dipilih salah satu gagasan, lalu siswa bertanggung jawab menguji hipotesis yang telah dirumuskan dengan menganalisis data yang telah diperoleh dan langkah terakhir adalah membuat kesimpulan sementara berdasarkan data yang diperoleh siswa (Trianto, 2007: 138).
Menurut Sofan (2010: 200) Inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Apabila siswa belum pernah mempunyai pengalaman belajar dengan kegiatan-kegiatan inkuiri, maka diperlukan bimbingan yang cukup luas dari guru. Hal inilah yang disebut dengan inkuiri terbimbing.
Pendekatan inkuiri terbimbing yaitu pendekatan inkuiri dimana guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Guru mempunyai peran aktif dalam menentukan permasalahan dan tahap-tahap pemecahannya. Pendekatan inkuiri terbimbing ini digunakan bagi siswa yang kurang berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Dengan pendekatan ini siswa belajar lebih berorientasi pada bimbingan dan petunjuk dari guru hingga siswa dapat memahami konsep-konsep pelajaran. Pada pendekatan ini siswa akan dihadapkan pada tugas-tugas yang relevan untuk diselesaikan baik melalui diskusi kelompok maupun secara individual agar mampu menyelesaikan masalah dan menarik suatu kesimpulan secara mandiri.

3.  Aktivitas Belajar Siswa
Sadirman (dalam Junaidi, 2010) berpendapat bahwa "belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan.  Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas”.
Senada dengan hal di atas, Gie ( dalam Junaidi, 2010) mengatakan bahwa:
"Keberhasilan siswa dalam belajar tergantung pada aktivitas yang dilakukannya selama proses pembelajaran. Aktivitas belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas secara sadar yang dilakukan seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam dirinya, berupa perubahan pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya tergantung pada sedikit banyaknya perubahan.”
Aktivitas siswa dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat pen-ting. Hal ini sesuai dengan pendapat Sadirman (dalam Junaidi, 2010) bahwa:

Dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas, tanpa aktivitas belajar itu tidak mungkin akan berlangsung dengan baik.  Aktivitas dalam proses belajar mengajar merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran, bertanya hal yang belum jelas, mencatat, mendengar, berfikir, membaca, dan segala kegiatan yang dilakukan yang dapat menunjang prestasi belajar.

Dalam pembelajaran IPA pun demikian. Perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa dalam pengorganisasian pengetahuan, apakah mereka aktif atau pasif.  Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa selama mengikuti pembelajaran.  Berkenaan dengan hal tersebut, Paul B. Dierich (dalam Junaidi, 2010) menggolongkan aktivitas siswa dalam pembelajaran an­tara lain sebagai berikut.
1)visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, mem-baca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain, 2) oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, dan memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wa-wancara, diskusi, interupsi,3)listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, per-cakapan, diskusi, musik, pidato, 4)writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin, 5) drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram, 6) motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: me-lakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak, 7) mental activities, sebagai contoh misalnya: menganggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan, 8) emotional activities, seperti misalnya: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.

Selasa, 10 April 2012

Karakteristik Siswa Kelas IV SD


Tahapan perkembangan anak yang penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya adalah pada masa usia sekolah dasar (sekitar 6,0 – 12,0). Karakteristik siswa kelas IV sekolah dasar masih termasuk dalam tahap atau fase pertumbuhan dan perkembangan. Siswa kelas IV sekolah dasar biasanya berumur antara 10-11 tahun.
Perkembangan setiap individu tidak hanya dalam satu aspek saja, tetapi dalam beberapa aspek. Havighurst (dalam Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih, 2009: 1.21) mengemukakan bahwa “setiap tahap perkembangan individu harus sejalan dengan perkembangan aspek-aspek, yaitu fisik, psikis, emosional, moral dan sosial”. Kartono (dalam Sobur Alex, 2009: 128) mengemukakan bahwa pertumbuhan sebagai “Perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik, yang berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat, dalam passage/peredaran waktu tertentu”. Kartono juga mendefinisikan tentang perkembangan sebagai perubahan psikofisis sebagai hasil proses pematangan fungsi psikis dan fisis pada anak dengan ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar menuju kedewasaan. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan memiliki arti yang sama.
Erik Erikson (dalam Rita Eka Izzati, dkk, 2008: 25-26) menggolongkan masa remaja/10-20 tahun ke dalam siklus identitas dan kebingungan identitas. Pada masa ini anak dihadapkan pada penemuan siapa diri mereka, bagaimana nantinya, serta kemana anak tersebut menuju dalam kehidupannya. Anak dihadapkan banyak peran baru dan status orang dewasa. Jika pada masa ini anak ditolak perannya oleh orang tua, maka anak tidak memamadai dalam menjajaki banyak peran nantinya.

Siti Rahayu Haditono (2006: 214) membagi fase perkembangan menjadi lima yaitu:
1)        Stadium sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Pada stadium ini nampak perkembangan anak. Pada mulanya anak bergerak terus atas dasar tingkah laku refleksi murni. Sama sekali belum ada differensiasi antara anak dan sekitarnya. Baru pada akhir periode ini nampak differensiasi yang jelas antara subjek dan objek. Contoh yang paling jelas mengenai arah perkembangan ini adalah gejala permanensi objek. Bagi anak umur 8 bulan objek tidak ada eksistensinya lagi bila misalnya disembunyikan di belakang layar. Baru sekitar umur 9-12 bulan anak mampu untuk menemukan kembali objek-objek yang disembunyikan. Anak pada usia ini hanya mencarinya di tempat objek tadi disembunyikan pertama kali. 
2)      Stadium Pra-operasional (± 18 bulan-7 tahun)
Pada proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis, berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu untuk mengambil perspektif orang lain. Cara berpikir pra-operasional sangat memusat. Bila anak dikonfontrasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi-dimensi lain dan akhirnya mengabaikan hubungan antara dimensi-dimensi ini. Sangat khusus bagi anak dalam periode ini adalah percakapan antara orang dewasa dan anak.
3)      Stadium operasional konkret (7-11 tahun)
              Stadium operasional konkret dapat menjadi ciri-ciri negatif pada stadium berpikir pra-operasional. Cara berpikir anak yang operasional konkret kurang egosentris. Ada kekurangan dalam cara berpikir operasional konkret. Anak mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu tetapi hanya dalam situasi yang konkret. Anak belum mampu untuk menyelesaikan masalah dengan baik apabila dihadapkan dengan masalah secara verbal tanpa ada bahan yang konkret.
4)      Stadium operasional formal (mulai 11 tahun)
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting:
a)      Sifat deduktif-hipotesis
            Anak yang berpikir operasional formal, akan bekerja dengan cara lain. Ia akan memikirkan dulu secara teoretis, menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang ada. Atas dasar analisisnya ini, lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoretis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan proposisi-proposisi tertentu, kemudian mencari hubungan antara proposisi yang berbeda-beda tadi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka berpikir operasional formal juga disebut berpikir proposional.
b)      Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris
Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana melakukan analisisnya. Berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku “problem solving” yang ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung.
c)      Perpindahan dari berpikir pra-operasional ke operasional konkret
Piaget menciptakan sejumlah tugas yang dapat menggambarkan perpindahan dari berpikir pra-operasioanal ke operasional konkret. Tugas ini dipandang sebagai tugas kriterium, artinya bila anak dapat menyelesaikan tugasnya maka ia berada di dalam stadium operasional konkret. Beberapa dari tugas ini adalah sebagai berikut:
(1)   Mengatur secara serial
Bila anak berada dalam stadium pra-operasional diberi tugas untuk mengatur beberapa tongkat kecil yang berlainan panjangnya, maka ia tidak mampu untuk mengaturnya menurut panjang pendeknya tongkat-tongkat tadi. Anak yang berpikir operasional konkret dapat melakukan hal itu.
(2)   Klasifikasi
Bila anak umur 2-5 tahun diberi sejumlah balok yang mempunyai warna dan bentuk yang berbeda-beda dan bila ia ditanya balok-balok mana yang sama, maka ia tidak dapat menjawabnya. Anak hanya membuat apa yang disebut “conceptual chains” artinya ia meletakkan balok-balok dalam suatu “seri” berdasarkan dasar konsepsi yang senantiasa berbeda.
(3)   Konservasi
Anak pada stadium pra-operasional belum mampu untuk mengerti mengenai suatu konservasi atau masalah yaitu sekitar umur 4 tahun. Anak usia 5 tahun harus dianggap sebagai suatu peralihan artinya kadang-kadang biasa kadang-kadang tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Mulai umur 6 tahun anak akan dapat menyelesaikan masalahnya. Hal ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana anak memperoleh pengertian bahwa sifat-sifat tertentu akan tetap sama meskipun ada transformasi pada suatu objek.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Charlotte Buhler (dalam Sobur Alex, 2009: 131) tentang pembagian fase perkembangan anak adalah sebagai berikut:
1)      Fase Pertama (0-1 tahun)
Pada fase/tahap ini anak yang berkembang sedang menghayati berbagai objek di luar diri sendiri. Anak sedang melatih fungsi-fungsi, khususnya fungsi motorik, yakni fungsi yang berhubungan dengan gerakan-gerakan anggota badan.
2)      Fase Kedua (2-4 tahun)
            Fase ini merupakan fase pengenalan dunia objektif di luar diri sendiri, yang mulai disertai dengan penghayatan yang bersifat subjektif. Mulai dari pengenalan pada “aku” sendiri, dengan bantuan bahasa dan kemauan diri sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar berdasarkan pengamatan yang objektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya pada benda-benda di luar dirinya. Anak sering bercakap-cakap dengan boneka atau berbincang-bincang dengan hewan.
3)      Fase Ketiga (5-8 tahun)
Pada tahap/fase ini bisa dikatakan sebagai masa sosialisasi anak. Pada masa ini, anak sudah belajar untuk memasuki dunia luar atau masyarakat luas seperti taman kanak-kanak, sekolah dasar maupun pergaulan dengan teman-teman sepermainannya. Anak mulai belajar mengenal arti prestasi, pekerjaan, dan tugas-tugas kewajiban. Jadi, yang penting untuk diperhatikan dalam fase/tahap ini adalah berlangsungnya proses sosialisasi.
4)      Fase Keempat (9-11 tahun)
Fase ini adalah masa Sekolah Dasar. Pada periode ini, anak mencapai objektivitas tertinggi. Pada tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap menyelidik, mencoba, dan bereksperimen yang distimulasi oleh dorongan-dorongan menyelidik dan rasa ingin tahu yang besar, masa pemusatan dan penimbunan tenaga untuk berlatih, menjelajah, dan bereksplorasi. Pada masa ini, secara tidak sadar anak berpikir tentang dirinya sendiri dan anak sering mengasingkan diri dan mulai “menemukan diri sendiri”.
5)      Fase Kelima (14-19 tahun)
            Fase ini merupakan masa tercapainya syinthese di antara sikap ke dalam batin sendiri dengan sikap ke luar, pada dunia objektif dan pada fase ini untuk kali kedua anak bersikap subjektif dalam kehidupannya. Dengan tiba masa ini, masa perkembangan anak sudah selesai dan berganti memasuki masa kedewasaan.
Menurut Bassett, Jacka, dan Logan (dalam Mulyani Sumantri dan Johar Permana, 2001: 11) secara umum karakteristik anak usia sekolah dasar adalah sebagai berikut:
1)      Mereka secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri;
2)      Mereka senang bermain dan lebih suka bergembira/riang;
3)      Mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi suatu situasi dan mencobakan usaha-usaha baru;
4)      Mereka biasanya tergetar perasaannya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka mengalami ketidakpuasan dan menolak kegagalan-kegagalan;
5)      Mereka belajar secara efektif  ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi;
6)      Mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya.
Menurut Jean Piaget (dalam Mulyani Sumantri dan Nana Syaodih, 2009: 1.15) mengemukakan empat tahap proses anak sampai mampu berpikir seperti orang dewasa, yaitu :
1)   Tahap sensori motor (0,0 - 2,0)
Pada tahap ini mencakup hampir keseluruhan gejala yang berhubungan langsung dengan panca indra. Anak saat mulai mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa , mereka menerapkannya dalam objek yang nyata dan anak mulai memahami hubungan antara nama yang  diberikan pada suatu benda.
2)   Tahap praoperasional (2,0 – 7,0)
Pada tahap ini, anak berkembang sangat pesat. lambang-lambang bahasa yang digunakan untuk menunjukkan suatu benda konkret bertambah pesat serta mampu mengambil keputusan berdasarkan intuisi, bukan berdasarkan rasional serta mampu mengambil suatu kesimpulan atas apa yang telah diketahuinya walaupun hanya sebagian kecil.
3)   Tahap operasional konkret (7,0 – 11,0)
Pada tahap ini, anak sudah mampu untuk berpikir secara logis. Mereka mampu berpikir secara sistematis untuk mencapai suatu pemecahan masalah. Pada tahap ini permasalahan yang muncul pada anak adalah permasalahan yang konkret. Anak akan menemui kesulitan apabila diberi tugas untuk mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi.
4)   Tahap operasional formal (11,0 – 15,0)
Pada tahap ini anak sudah memiliki pola pikir seperti orang dewasa. Mereka mampu menerapkan cara berpikir dari berbagai permasalahan yang dihadapi. Anak sudah mampu memikirkan buah pikirannya, dapat membentuk suatu ide dan mampu berpikir tentang masa depan secara realistis.
Berdasarkan pendapat ahli yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa kelas IV sekolah dasar adalah berada pada masa perkembangan dan pertumbuhan. Banyak aspek yang berkembang pada diri anak seperti aspek fisik, sosial, emosional, dan moral sehingga anak akan menemukan jati diri mereka dan juga harus ditunjang oleh lingkungan dan proses pembelajaran menuju kedewasaan. Siswa kelas IV sekolah dasar digolongkan ke dalam stadium operasional konkret, anak mampu melakukan aktivitas logis, mampu menyelesaikan masalah dengan baik tetapi masih sulit mengungkapkan sesuatu yang masih tersembunyi. Pada masa usia ini, anak suka menyelidik berbagai hal serta anak juga memiliki rasa ingin selalu mencoba dan bereksperimen. Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar serta mulai menjelajah dan mengeksplorasi berbagai hal. Anak sudah mulai terdorong untuk berprestasi di sekolahnya, tetapi anak juga masih senang untuk bermain dan bergembira. Berdasarkan hal ini, guru sepatutnya lebih memahami dunia anak.